SAATNYA MELAKUKAN EVALUASI DAN MEMBUAT RESOLUSI
Oleh: Dr. Ahmad Kusyairi Suhail, MA
(Ketua Umum Ikatan Dai Indonesia/IKADI, dosen S1 dan Pasca Sarjana FDI UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Pimpinan PonPes YAPIDH Bekasi)
Momentum pergantian tahun baru masehi yang merupakan hitungan tahun baru dalam kalender masehi, yang umum digunakan di seluruh dunia saat ini, dirayakan oleh sebagian masyarakat di dunia dengan berbagai macam aktifitas.
Asal usul perayaan tahun baru yang ditetapkan pada tanggal 1 Januari, menurut ahli sejarah, pertama kali dilakukan pada 46 SM (Sebelum Masehi), pada masa kekuasaan Kaisar Romawi, Julius Caesar. Penguasa Romawi ini, memutuskan mengganti penanggalan Romawi yang terdiri dari 10 bulan (304 hari), yang dibuat oleh Romulus pada abad ke-8. Bangsa Romawi mempersembahkan 1 Januari kepada Janus, dewa segala gerbang, pintu-pintu, dan permulaan (waktu). Bulan Januari diambil dari nama Janus sendiri, yaitu dewa yang memiliki dua wajah; sebuah wajahnya menghadap ke (masa) depan dan sebuahnya lagi menghadap ke (masa) lalu. Merekanl, kala itu, memperingati tahun baru dengan berbagai pengorbanan kepada Janus, merayakannya dengan bertukar hadiah, mendekorasi rumah, dan mengunjungi serta mengadakan berbagai macam pesta. Tahun Masehi sendiri sebenarnya berhubungan dengan keyakinan agama Kristen. Masehi adalah nama lain dari Isa Al Masih. Karenanya, perayaan tahun baru di beberapa negara terkait dengan ritual keagamaan. Seiring perkembangan agama Kristen, akhirnya perayaan ini diwajibkan oleh para pemimpin gereja sebagai perayaan “suci” satu paket dengan hari Natal. Sehingga ucapan Natal dan Tahun Baru dijadikan satu menjadi, Merry Christmas and Happy New Year.
Tradisi Nasrani memperingati tahun baru masehi dengan membunyikan lonceng, sementara tradisi kaum Majusi dengan pengagungan api (karena itu sebagian orang mengaitkan menyalakan api dengan tradisi Majusi ini?) serta meniup trompet bagi tradisi Yahudi (Lihat: The World Book Encyclopedia tajun 1984, volume 14, hal. 237, dan Encarta Reference Library Premium 2005 dan berbagai sumber).
Sedangkan masyarakat Arab Jahiliah belum ditemukan (sepengetahuan penulis) tradisi mereka merayakan tahun baru masehi.
Dewasa ini, banyak orang mengembangkan merayakan tahun baru masehi dengan bertabur beragam kemaksiatan yang dipertontokan secara terbuka dan terang-terangan, seperti mabuk-mabukan dengan mengkonsumsi miras, narkoba hingga berzina. Sebagian menganggap, pergantian tahun baru adalah momentum langka dan hanya terjadi sekali dalam setahun sehingga perlu dirayakan dengan sepuas-puasnya, memperturutkan keinginan hawa nafsunya. Mereka lupa, bahwa kematian bisa datang kapan saja, termasuk di tahun baru, tanpa pernah permisi dan tidak bisa diprediksi.
Untuk itu, seorang muslim, sudah diingatkan oleh Rasulullah SAW jauh-jauh hari dengan sabdanya,
من تشبه بقوم فهو منهم
“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk golongan mereka” (HR. Abu Dawud, no. 4031, dishaihkan oleh syekh Albani).
Dalam hadits lain, lebih jelas lagi, Rasulullah SAW bersabda,
لا تقوم الساعة حتى تأخذ أمتي بأخذ القرون قبلها، شبرا بشبر وذراعا بذراع، فقيل: يا رسول الله كفارس والروم؟، فقال: ومن الناس إلا أولئك
“Kiamat tidak akan terjadi hingga umatku mengikuti jalan kaum-kaum sebelumnya; sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta.” Lalu ada yang bertanya kepada beliau SAW, apakah mereka itu mengikuti seperti Persia dan Romawi? Beliau SAW menjawab, “Kalau bukan mereka lantas siapa lagi” (HR. Bukhari, no. 7319).
Karenanya, seorang muslim hendaknya memanfaatkan momentum setiap pergantian tahun baru untuk melakukan evaluasi diri dan membuat resolusi. Bagi kita bangsa Indonesia, di tengah kondisi bangsa yang masih diselimuti sejumlah bencana dan musibah, tentu tidaklah patut pergantian tahun dirayakan dengan hura-hura, foya-foya dan berpesta pora.
Mensyukuri Nikmat Panjang Umur
Ketika seseorang melewati malam pergantian tahun, maka sesungguhnya wajib bersyukur kepada Allah SWT karena masih diberi nikmat panjang umur dan kesempatan untuk mengukir prestasi amal shalih menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Masih diberi Allah kesempatan untuk menyongsong hari esok dan masa depan yang cemerlang. Apalagi dengan bertemu tahun baru, berarti jatah hidup kita di dunia, terus berkurang dan itu artinya semakin mendekatkan diri kita kepada kematian.
Karena itu, Nabi SAW menegaskan bahwa manusia yang cerdas adalah manusia yang memiliki pandangan jauh ke depan dan visioner. Tidak hanya memikirkan keberhasilan, kesuksesan dan kebahagiaan di dunia saja, melainkan juga memikirkan kesuksesan dan kebahagiaan di akhirat.
Rasulullah SAW bersabda,
الكَيِّسُ مَنْ دَانَ نَفْسَهُ وَعَمِلَ لِمَا بَعْدَ المَوْتِ، وَالعَاجِزُ مَنْ أَتْبَعَ نَفْسَهُ هَوَاهَا وَتَمَنَّى عَلَى اللَّهِ
”Orang yang cerdas/pandai adalah yang menahan nafsunya (mengevaluasi dirinya sendiri) serta beramal untuk kehidupan sesudah kematian. Sedangkan orang yang lemah adalah orang yang mengikuti hawa nafsunya serta berangan-angan (kosong) terhadap Allah Ta’ala“. (HR. Ibn Majah, no. 4250, Al Hakim, IV/341 dan ia menshahihkannya).
Momentum Melakukan Evaluasi Diri
Pergantian tahun baru harus dijadikan momentum untuk melakukan evaluasi diri terhadap kebaikan dan keburukan dalam semua aspeknya. Evaluasi diri dapat menjadi sarana untuk me-recharge niat dan semangat dalam mengisi dan memanfaatkan dengan baik sisa-sisa umur kita di dunia.
Urgensi Evaluasi Diri bagi Muslim
Urgensi evaluasi diri bagi seorang muslim terlihat pada lima hal.
Pertama, Evaluasi diri adalah kewajiban agama. Sebab, merupakan perintah Allah Ta’ala (Amrun Ilaahi) sebagaimana firman-Nya:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (Akhirat), dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Hasyr: 18).
Saat menafsirkan ayat ini, Imam Ibnu Katsir mengatakan, “Maknanya, hisab dan evaluasilah dirimu sebelum kamu dihisab/dievaluasi. Lihat dan perhatikanlah apa yang kamu tabung untuk dirimu dari amal shalih untuk hari kebangkitanmu dan saat kamu dihadapkan kepada Rabb-mu. Ketahuilah sesungguhnya Allah Maha Mengetahui seluruh perbuatan dan keadaanmu. Tidak ada sesuatu apa pun pada dirimu yang tidak diketahui Allah” (Tafsir Ibnu Katsir, V/69).
Sebelumnya, Sayyidina Umar bin Khaththab RA pernah berkata: “Hisab dan evaluasilah diri kalian sebelum kalian dihisab/dievaluasi dan timbanglah diri kalian sebelum kalian ditimbang, karena lebih mudah bagi kalian menghisab/mengevaluasi diri kalian hari ini daripada besok (hari Kiamat). Dan bersiaplah untuk menghadapi pertemuan terbesar. Ketika itu, kalian diperlihatkan/dibeberkan dan tidak ada sesuatu pun pada kalian yang tersembunyi” (HR Imam Ahmad dalam kitab Az Zuhd, hal. 177).
Karena perintah Allah, maka evaluasi diri merupakan salah satu sarana dan wasilah yang efektif dapat mengantarkan manusia mencapai tingkat kesempurnaan sebagai hamba Allah SWT. Kebiasaan melakukan evaluasi di dunia, dapat meringankan hisab pada hari Kiamat kelak sebagaimana dikatakan oleh Umar bin Khaththab RA,
إنما يخف الحساب يوم القيامة على من حاسب نفسه في الدنيا
“Sesungguhnya hisab/evaluasii pada Kiamat itu akan ringan bagi orang yang biasa menghisab (mengevaluasi) dirinya di dunia” (HR Tirmidzi, IV/550).
Kedua, Evaluasi Diri Merupakan Diskursus Keimanan. Artinya barometer keimanan seorang mukmin sangat ditentukan oleh sejauh mana ia menerapkan evaluasi dalam kehidupannya. Maka, orang yang jarang dan tidak melakukan evaluasi berarti imannya lemah. Sementara orang kuat imannya, akan rajin melakukan evaluasi sehingga termotivasi untuk selalu memperbaiki diri.
Ketiga, Evaluasi Diri adalah Karakter Orang Bertakwa. Bahkan, dalam ayat di atas, Allah SWT sampai perlu mengapit perintah muhasabah dengan dua kali perintah takwa. Artinya, mustahil seseorang sampai pada derajat takwa ketika tidak pernah mengiringi kehidupannya dengan evaluasi. Padahal surga disiapkan Allah SWT hanya bagi orang-orang yang bertakwa.
Keempat, Evaluasi adalah Tuntutan Kekinian. Maka institusi, organisasi, perusahaan, yayasan, kementerian, perkumpulan dan lembaga apa pun, selalu menyelenggarakan evaluasi dalam bentuk koreksi dan audit internal dengan menghitung untung dan rugi, kekurangan dan kelebihan, capaian target dan lain-lain. Semua sadar, bahwa evaluasi diri melahirkan nilai tambah dalam berfikir dan bertindak lebih cepat dan tepat guna meraih keberhasilan dan kemajuan di segala bidang.
Kelima, Evaluasi Diri adalah Kunci Sukses Kehidupan Manusia yang Unggul.
Generasi terbaik umat islam adalah para sahabat RA, kehidupan mereka tidak pernah lepas dari kegiatan evaluasi diri. Evaluasi diri menggembleng mereka menjadi manusia-manusia besar dengan beragam prestasi amal shalih yang membuat mereka dikenang sepanjang zaman. Namun, mereka tetap merasa khawatir jangan-jangan amal mereka tidak diterima oleh Allah. Mereka sangat takut menghadapi hari Kiamat, hari perhitungan, karena harus mempertanggungjawabkan semua perbuatannya di dunia.
Manusia dengan sifat-sifat seperti inilah yang dipuji oleh Allah SWT dalam firman-Nya:
وَالَّذِينَ يُؤْتُونَ مَا آتَوْا وَقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ أَنَّهُمْ إِلَى رَبِّهِمْ رَاجِعُونَ، أُولَئِكَ يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَهُمْ لَهَا سَابِقُونَ
“Sesungguhnya orang-orang yang berhati-hati karena takut akan (azab) Tuhan mereka. Dan orang-orang yang beriman dengan ayat-ayat Tuhan mereka. Dan orang-orang yang tidak mempersekutukan dengan Tuhan mereka (sesuatu apapun). Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhan mereka, mereka itu bersegera untuk mendapat kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yang segera memperolehnya”. (QS Al Mu’minuun (23): 57-60).
Tentang ayat ini Aisyah RA pernah bertanya kepada Rasulullah SAW:
أَهُمْ الَّذِينَ يَشْرَبُونَ الْخَمْرَ وَيَسْرِقُونَ؟ قَالَ : لَا يَا بِنْتَ الصِّدِّيقِ ! وَلَكِنَّهُمْ الَّذِينَ يَصُومُونَ وَيُصَلُّونَ وَيَتَصَدَّقُونَ وَهُمْ يَخَافُونَ أَنْ لَا يُقْبَلَ مِنْهُمْ (أُولَئِكَ الَّذِينَ يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ)
Apakah mereka adalah orang-orang yang biasa minum khamr, berzina dan mencuri? Beliau menjawab: “Bukan wahai putri Ash Shiddiq. Melainkan mereka adalah orang-orang yang rajin puasa, shalat, shadaqa, tetapi selalu merasa takut dan khawatir jangan-jangan Allah tidak menerima amal-amal mereka. Mereka itulah orang-orang yang bersegera untuk mendapat kebaikan-kebaikan”. (HR Tirmidzi, no. 3175 dan dishahihkan Ibnu Katsir dalam kitab Tafsirnya, I/176).
Untuk itu, mari kita manfaatkan momentum pergantian tahun untuk melakukan evaluasi diri dan membuat resolusi guna menyongsong hari-hari dan waktu ke depan dengan mengukir prestasi-prestasi cemerlang dan menjalani kehidupan dengan lebih baik lagi. Karena dunia ini hakekatnya adalah panggung kehidupan untuk beramal yang lebih baik sebagaimana ditegaskan Allah SWT, “Dialah (Allah) yang menciptakan mati dan hidup untuk menguji kamu siapa diantara kamu yang lebih baik amalnya” (QS Al-Mulk (67): 2).
Siapapun kita, apakah pejabat, karyawan, orang tua, anak muda, ibu rumah tangga, pelaku bisnis, politikus, pemimpin, budayawan, guru, dosen, jurnalis dan lain sebagainya, baik generasi ‘milenial’ maupum generasi ‘kolonial’, sangat penting untuk melakukan evaluasi dan membuat resolusi.
Sudah siapkah kita menghadapi kematian? Sudah cukupkan bekal amal shalih kita? Masihkah kita terus tenggelam dalam dosa, maksiat dan kezaliman? Sudah amanah dan adilkah kita sebagai pejabat atau pemimpin? Apa jadinya jika menghadap Allah di akhirat kelak dalam kondisi diri ‘blepotan’ dosa dan nista?! Mari perbanyak istighfar dan taubat. Semoga Allah mengampuni dosa-dosa kita. Mari raih hidup indah dan berkah ilahi dengan evaluasi diri dan membuat resolusi.
Bekasi, 29 Desember 2022