Mewujudkan Generasi Rabbani:
Integrasi Ilmu dan Amal dalam Bingkai Al-Qur’an Surah Ali Imran Ayat 79-88
Oleh: Dr. Ahmad Kusyairi Suhail, MA
(Ketua Umum Ikatan Dai Indonesia/IKADI)
Bismillahirrahmanirrahim.
Dalam kehidupan modern yang sarat dengan tantangan dan godaan, banyak keluarga muslim yang merindukan hadirnya generasi unggul yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga kokoh secara spiritual dan moral. Al-Qur’an sebagai pedoman hidup umat Islam telah memberikan blueprint yang jelas tentang kriteria generasi ideal ini, yang dalam terminologi Islam disebut sebagai “Generasi Rabbani”. Konsep mulia ini tertuang dalam Surah Ali Imran ayat 79-88, yang memberikan panduan komprehensif tentang karakteristik generasi rabbani dan konsekuensi bagi yang mengingkarinya.
Konteks Historis Turunnya Ayat
Sebelum mendalami makna ayat-ayat tersebut, penting untuk memahami konteks historis turunnya wahyu ini. Surah Ali Imran secara umum turun berkaitan dengan kedatangan delegasi Nasrani dari Najran yang menemui Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam untuk berdebat tentang status Nabi Isa Alaihissalam. Dalam dialog tersebut, mereka menuduh Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menginginkan penyembahan terhadap dirinya, sebagaimana mereka menuhankan Nabi Isa. Allah kemudian menurunkan ayat-ayat ini sebagai bantahan sekaligus penjelasan tentang hakikat kenabian yang sebenarnya.
Sejarah mencatat bahwa delegasi Najran terdiri dari 60 orang yang dipimpin oleh seorang uskup bernama Abu Haritsah. Mereka datang dengan pakaian mewah dan penampilan yang mentereng, menunjukkan kesombongan dan keyakinan mereka yang keliru tentang ketuhanan Nabi Isa. Dialog ini bukan sekadar debat biasa, melainkan peristiwa penting yang menguji kemurnian akidah Islam.
Analisis Mendalam Ayat 79-80: Fondasi Generasi Rabbani
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
مَا كَانَ لِبَشَرٍ أَنْ يُؤْتِيَهُ اللَّهُ الْكِتَابَ وَالْحُكْمَ وَالنُّبُوَّةَ ثُمَّ يَقُولَ لِلنَّاسِ كُونُوا عِبَادًا لِي مِنْ دُونِ اللَّهِ وَلَٰكِنْ كُونُوا رَبَّانِيِّينَ بِمَا كُنْتُمْ تُعَلِّمُونَ الْكِتَابَ وَبِمَا كُنْتُمْ تَدْرُسُونَ. وَلَا يَأْمُرَكُمْ أَنْ تَتَّخِذُوا الْمَلَائِكَةَ وَالنَّبِيِّينَ أَرْبَابًا ۗ أَيَأْمُرُكُمْ بِالْكُفْرِ بَعْدَ إِذْ أَنْتُمْ مُسْلِمُونَ
“Tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allah berikan kepadanya Al-Kitab, hikmah, dan kenabian, lalu dia berkata kepada manusia: ‘Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku, bukan penyembah Allah.’ Akan tetapi (dia berkata): ‘Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan Al-Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya.’ Dan tidaklah dia menyuruh kamu menjadikan malaikat dan para nabi sebagai tuhan. Apakah dia menyuruh kamu berbuat kekafiran di waktu kamu sudah (menganut agama) Islam?” (QS. Ali Imran: 79-80)
Ayat ini menegaskan beberapa prinsip fundamental yang menjadi landasan akidah Islam. Pertama, tidak ada seorang nabi pun yang memerintahkan penyembahan terhadap dirinya. Kedua, semua nabi tanpa terkecuali mengajak umatnya untuk menjadi generasi rabbani. Ketiga, generasi rabbani adalah generasi yang orientasi hidupnya tertuju hanya kepada Allah, dengan dua pilar utama: semangat mengajarkan Al-Qur’an (tu’allimunal kitab) dan semangat mempelajarinya (tadrusun).
Kata “rabbani” berasal dari kata “Rabb” yang berarti Tuhan, Pemelihara, dan Pendidik. Dalam bahasa Arab, bentuk “rabbani” menunjukkan intensitas dan kontinuitas dalam penyandaran diri kepada Allah. Generasi rabbani adalah generasi yang memiliki kesadaran ilahiyah yang mendalam, dimana setiap aspek kehidupannya diorientasikan hanya untuk mengabdi kepada Allah. Mereka adalah pribadi-pribadi yang tidak hanya menguasai ilmu agama, tetapi juga mampu mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari.
Para mufassir memiliki penafsiran yang variatif namun saling melengkapi tentang makna rabbani. Abdullah bin Abbas Radhiallahu ‘Anhuma menafsirkannya sebagai “hukama’ ulama” (orang yang bijaksana dan berilmu). Al-Imam Al-Hasan Al-Bashri menafsirkannya sebagai “fuqaha” (ahli fikih), sementara riwayat lain menyebutkan sebagai “ahlu ibadah wa ahlut takwa” (ahli ibadah dan takwa). Semua penafsiran ini menunjukkan bahwa generasi rabbani adalah mereka yang mengintegrasikan ilmu, amal, dan akhlak dalam kehidupannya.
Dua Pilar Utama Generasi Rabbani
Ayat ini dengan gamblang menyebutkan dua karakteristik utama generasi rabbani:
- Semangat Mengajarkan Al-Qur’an (Tu’allimunal Kitab)
Generasi rabbani tidak hanya puas memiliki ilmu untuk diri sendiri, tetapi memiliki semangat untuk menyebarkannya. Ini mencakup mengajarkan Al-Qur’an secara langsung, memotivasi orang lain untuk mempelajarinya, atau mendukung program-program Al-Qur’an baik secara material maupun spiritual. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:
خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ
“Sebaik-baik kalian adalah yang mempelajari Al-Qur’an dan mengajarkannya.” (HR. Bukhari)
Mengajarkan Al-Qur’an dalam konteks modern tidak terbatas pada pengajaran baca tulis saja, tetapi juga mencakup pengajaran tafsir, penerapan nilai-nilai Qur’ani dalam kehidupan sehari-hari, serta menyebarkan konten-konten Qur’ani melalui media digital.
- Semangat Mempelajari Al-Qur’an (Tadrusun)
Generasi rabbani memiliki komitmen kuat untuk terus belajar dan mendalami Al-Qur’an. Belajar di sini tidak hanya terbatas pada tahsin dan tahfizh, tetapi juga memahami tafsirnya, mengkaji maknanya, dan mengaplikasikannya dalam kehidupan. Dalam sebagian qiraat, kata “tadrusun” juga bermakna “tahfadzuna alfadzahu” (menghafal lafaz-lafaznya).
Proses pembelajaran Al-Qur’an yang ideal mencakup tiga level: level tilawah (membaca dengan benar), level hifzh (menghafal), dan level fahm (memahami makna). Ketiga level ini harus berjalan seimbang untuk membentuk generasi yang benar-benar Qur’ani.
Analisis Ayat 81-83: Konsistensi Risalah Para Nabi
Allah berfirman:
وَإِذْ أَخَذَ اللَّهُ مِيثَاقَ النَّبِيِّينَ لَمَا آتَيْتُكُمْ مِنْ كِتَابٍ وَحِكْمَةٍ ثُمَّ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مُصَدِّقٌ لِمَا مَعَكُمْ لَتُؤْمِنُنَّ بِهِ وَلَتَنْصُرُنَّهُ ۚ قَالَ أَأَقْرَرْتُمْ وَأَخَذْتُمْ عَلَىٰ ذَٰلِكُمْ إِصْرِي ۖ قَالُوا أَقْرَرْنَا ۚ قَالَ فَاشْهَدُوا وَأَنَا مَعَكُمْ مِنَ الشَّاهِدِينَ. فَمَنْ تَوَلَّىٰ بَعْدَ ذَٰلِكَ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ. أَفَغَيْرَ دِينِ اللَّهِ يَبْغُونَ وَلَهُ أَسْلَمَ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ طَوْعًا وَكَرْهًا وَإِلَيْهِ يُرْجَعُونَ
“Dan (ingatlah) ketika Allah mengambil perjanjian dari para nabi: ‘Sungguh, apa saja yang Aku berikan kepadamu berupa kitab dan hikmah, kemudian datang kepadamu seorang rasul yang membenarkan apa yang ada padamu, niscaya kamu akan sungguh-sungguh beriman kepadanya dan menolongnya.’ Allah berfirman: ‘Apakah kamu mengakui dan menerima perjanjian-Ku terhadap yang demikian itu?’ Mereka menjawab: ‘Kami mengakui.’ Allah berfirman: ‘Kalau begitu saksikanlah dan Aku bersama kamu termasuk among orang-orang yang menyaksikan.’ Barangsiapa yang berpaling setelah itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik. Maka apakah mereka mencari agama yang lain dari agama Allah, padahal kepada-Nya-lah berserah diri segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan suka maupun terpaksa dan hanya kepada Allahlah mereka dikembalikan.” (QS. Ali Imran: 81-83)
Ayat-ayat ini menegaskan beberapa hal penting. Pertama, kesatuan risalah semua nabi dari Allah. Kedua, kewajiban mengimani Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam sebagai nabi terakhir yang membenarkan nabi-nabi sebelumnya. Ketiga, siapapun yang berpaling setelah kebenaran datang dengan jelas, maka termasuk orang-orang fasik. Keempat, Islam adalah agama fitrah yang sesuai dengan penciptaan alam semesta.
Perjanjian yang diambil Allah dari para nabi ini menunjukkan bahwa risalah Islam adalah risalah yang universal dan menyeluruh. Tidak ada nabi yang diutus kecuali telah berjanji untuk mengimani dan mendukung nabi terakhir, Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Ini membuktikan bahwa Islam adalah agama yang satu sejak zaman Nabi Adam hingga Nabi Muhammad.
Analisis Ayat 84-85: Kewajiban Mengimani Semua Nabi
Allah berfirman:
قُلْ آمَنَّا بِاللَّهِ وَمَا أُنْزِلَ عَلَيْنَا وَمَا أُنْزِلَ عَلَىٰ إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ وَالْأَسْبَاطِ وَمَا أُوتِيَ مُوسَىٰ وَعِيسَىٰ وَالنَّبِيُّونَ مِنْ رَبِّهِمْ لَا نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِنْهُمْ وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ. وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Katakanlah: ‘Kami beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishaq, Ya’qub, dan anak-anaknya, dan apa yang diberikan kepada Musa, Isa dan para nabi dari Tuhan mereka. Kami tidak membeda-bedakan seorangpun di antara mereka dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya.’ Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (QS. Ali Imran: 84-85)
Ayat ini menegaskan prinsip-prinsip akidah Islam yang fundamental. Pertama, kewajiban mengimani semua nabi tanpa membeda-bedakan. Kedua, Islam adalah satu-satunya agama yang diterima di sisi Allah. Ketiga, kerugian abadi bagi mereka yang memilih agama selain Islam.
Prinsip “la nufarriqu baina ahadin minhum” (kami tidak membeda-bedakan seorang pun di antara mereka) adalah ciri khas akidah Islam yang adil dan seimbang. Berbeda dengan Yahudi yang hanya mengakui nabi-nabi Bani Israel dan menolak Nabi Isa, atau Nasrani yang mengakui Nabi Isa tetapi menolak Nabi Muhammad, Islam mengakui semua nabi tanpa terkecuali.
Analisis Ayat 86-88: Konsekuensi Kekufuran Setelah Keimanan
Allah berfirman:
كَيْفَ يَهْدِي اللَّهُ قَوْمًا كَفَرُوا بَعْدَ إِيمَانِهِمْ وَشَهِدُوا أَنَّ الرَّسُولَ حَقٌّ وَجَاءَهُمُ الْبَيِّنَاتُ ۚ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ. أُولَٰئِكَ جَزَاؤُهُمْ أَنَّ عَلَيْهِمْ لَعْنَةَ اللَّهِ وَالْمَلَائِكَةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ. خَالِدِينَ فِيهَا لَا يُخَفَّفُ عَنْهُمُ الْعَذَابُ وَلَا هُمْ يُنْظَرُونَ
“Bagaimana Allah akan memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir setelah mereka beriman, serta mereka telah mengakui bahwa Rasul itu benar-benar rasul, dan keterangan-keterangan pun telah datang kepada mereka? Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim. Mereka itu balasannya ialah: bahwasanya laknat Allah, laknat malaikat dan laknat manusia seluruhnya, atas mereka. Mereka kekal di dalam laknat itu; tidak akan diringankan siksa dari mereka dan tidak (pula) mereka diberi tangguh.” (QS. Ali Imran: 86-88)
Ayat-ayat terakhir ini memberikan peringatan keras tentang konsekuensi bagi mereka yang kafir setelah beriman dan menyaksikan kebenaran. Laknat Allah, malaikat, dan seluruh manusia akan menyertai mereka, dengan siksa yang kekal dan tidak akan pernah diringankan.
Laknat dalam terminologi Islam berarti dijauhkan dari rahmat Allah. Ini adalah bentuk hukuman tertinggi yang menunjukkan betapa seriusnya dosa murtad (keluar dari Islam) setelah seseorang mengetahui dan mengakui kebenaran.
Relevansi dengan Kehidupan Kontemporer
Dalam konteks kekinian, konsep generasi rabbani sangat relevan untuk menjawab tantangan keluarga muslim di era digital. Keluarga rabbani adalah keluarga yang menciptakan ekosistem Qur’ani, dimana interaksi dengan Al-Qur’an menjadi nafas dalam kehidupan sehari-hari. Di tengah gempuran media sosial dan konten-konten yang merusak, keluarga rabbani mampu membentengi diri dengan ilmu dan amal shaleh.
Penting untuk dipahami bahwa dua pilar dalam ayat 79 harus berjalan beriringan. Tidak cukup hanya rajin belajar tanpa memiliki semangat berbagi, dan tidak tepat jika semangat mengajarkan orang lain sementara pembelajaran untuk diri sendiri terabaikan. Imam Az-Zuhri berkata: “Haqun ‘ala man ta’allamal Qur’an an yakuna faqihan” (Sungguh tepat bagi orang yang belajar Al-Qur’an untuk menjadi orang yang faqih/mendalam pemahamannya).
Teladan Salafush Shalih
Generasi terbaik umat ini, salafush shalih, mencontohkan bagaimana mengintegrasikan kedua pilar ini. Sebagaimana diriwayatkan, mereka mempelajari sepuluh ayat Al-Qur’an dan tidak berpindah hingga menghafal, memahami, dan mengamalkannya. Abdullah bin Mas’ud Radhiallahu ‘Anhu berkata: “Kami belajar Al-Qur’an dan mengamalkannya secara bersamaan.” Inilah yang membedakan generasi rabbani dengan generasi yang hanya pandai teori tanpa amal.
Imam Malik bin Anas menegaskan: “Ilmu bukanlah dengan banyaknya riwayat, tetapi ilmu adalah cahaya yang Allah letakkan dalam hati.” Generasi rabbani memahami bahwa ilmu harus membuahkan amal, dan amal harus dilandasi dengan ilmu.
Implementasi dalam Kehidupan Keluarga
Untuk mewujudkan generasi rabbani dalam keluarga, beberapa langkah praktis dapat dilakukan:
- Menjadikan rumah sebagai taman Qur’ani dengan memperbanyak bacaan, kajian, dan hafalan Al-Qur’an. Setiap anggota keluarga harus memiliki jadwal khusus untuk berinteraksi dengan Al-Qur’an.
- Menciptakan lingkungan pergaulan yang positif dengan bergaul bersama orang-orang shaleh. Lingkungan yang baik akan mendukung terbentuknya karakter rabbani.
- Konsistensi dalam menuntut ilmu melalui majelis-majelis ilmu. Keluarga harus memiliki komitmen untuk terus belajar dan mengembangkan diri.
- Keseimbangan antara belajar dan mengajar dalam keluarga. Setiap anggota keluarga yang telah mendapatkan ilmu harus bersedia membagikannya kepada yang lain.
- Orientasi akhirat dalam setiap aktivitas. Setiap tindakan dan keputusan dalam keluarga harus diukur dengan nilai-nilai ukhrawi.
- Pemahaman yang komprehensif tentang Islam yang mencakup semua aspek kehidupan, tidak hanya ibadah ritual semata.
- Pembinaan akhlak mulia yang mencerminkan nilai-nilai Qur’ani dalam kehidupan sehari-hari.
Penutup
Menjadi generasi rabbani bukanlah tujuan individual, tetapi merupakan proyek peradaban untuk mewujudkan keluarga dan masyarakat yang diridhai Allah. Marilah kita berdoa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar dimudahkan untuk menjadi hamba-hamba-Nya yang rabbani, yang senantiasa bersemangat mempelajari dan mengajarkan Al-Qur’an, sehingga meraih kemuliaan di dunia dan akhirat.
رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا ۖ إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
“Ya Tuhan kami, terimalah daripada kami (amalan kami), sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 127)
Wallahu a’lam bish-shawwab.
