Membentengi Keluarga dari Fitnah Media Sosial
Oleh: Dr. Ahmad Kusyairi Suhail, MA
(Ketua Umum Ikatan Dai Indonesia/IKADI)
Bismillahirrahmanirrahim.
Di era banjir informasi seperti sekarang, media sosial bagai pisau bermata dua. Di satu sisi, ia menghadirkan kemudahan, kecepatan, dan peluang kebaikan yang tak terbatas. Di sisi lain, ia menjadi medium penyebaran fitnah, hoaks, dan konten negatif yang dapat merusak individu, keluarga, dan bahkan tatanan sosial. Sebagai muslim, kita tidak boleh terjebak dalam arus tanpa kendali. Sudah menjadi kewajiban kita untuk membentengi diri dan keluarga dari segala bentuk fitnah, termasuk fitnah media sosial. Ini adalah perintah Allah yang tegas dan menjadi barometer keimanan seorang muslim.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahrim: 6)
Ayat ini adalah panggilan mesra Allah kepada orang beriman. Seruan “Wahai orang-orang yang beriman” menunjukkan bahwa kesadaran untuk melindungi keluarga dari segala keburukan, termasuk yang bersumber dari media sosial, adalah cerminan dan konsekuensi dari keimanan. Kelalaian dalam hal ini bukanlah hal sepele, melainkan indikasi adanya kelemahan iman. Seorang kepala keluarga yang membiarkan anak dan istrinya terpapar konten-konten syubhat, hoaks, dan racun pemikiran tanpa filter, berarti telah lalai dari perintah Allah ini.
Landasan berikutnya adalah firman Allah dalam Surah Al-Isra’:
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ ۚ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَٰئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungjawabannya.” (QS. Al-Isra’: 36)
Ayat ini adalah pedoman utama dalam bermedia sosial. Allah melarang kita untuk “mengikuti” sesuatu tanpa ilmu. Dalam konteks digital, ini mencakup berbagai tindakan: menyebarkan berita, membagikan (share) konten, memberikan komentar, atau bahkan sekadar mempercayai informasi yang belum jelas kebenarannya. Setiap informasi yang masuk melalui telinga (audio), mata (visual), dan kemudian meresap di hati, kelak akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah. Media sosial, dengan segala kontennya, adalah medan ujian bagi ketiga indera dan hati kita.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam juga menegaskan kaitan erat antara keimanan dan etika berucap (baik lisan maupun tulisan):
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, maka hendaklah dia berkata baik atau diam.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam dunia digital, “berkata baik” mencakup segala bentuk ekspresi: status, komentar, unggahan gambar/video, dan stories di media sosial. Iman seseorang diuji ketika dia memiliki kuasa untuk menyebarkan informasi; apakah dia memilih untuk menyebar kebaikan atau justru ikut serta dalam menyuburkan keburukan? Jika tidak mampu berkata baik, maka diam—tidak komentar, tidak share — adalah pilihan yang lebih utama dan selamat.
Allah kembali menegaskan tata kelola informasi dalam firman-Nya:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَىٰ مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (QS. Al-Hujurat: 6)
Prinsip tabayyun (cek dan ricek) adalah tameng utama dalam menghadapi arus informasi. Dalam konteks media sosial, “orang fasik” bisa berarti akun-akun yang tidak kredibel, media yang gemar menyebar sensasi, atau sumber berita yang tidak jelas. Ayat ini mengajarkan kita untuk tidak reaktif. Sebelum membagikan sebuah informasi, kita wajib memastikan kevalidannya. Betapa banyak kerusakan, permusuhan, dan penyesalan yang terjadi hanya karena satu informasi hoaks yang dibagikan tanpa tabayyun. Jejak digital adalah abadi, dan kerusakan yang ditimbulkan bisa sangat masif.
Media sosial adalah alat netral. Ia akan menjadi wasilah kebaikan jika diisi dengan konten positif, dakwah, dan informasi yang bermanfaat. Sebaliknya, ia akan menjadi sumber fitnah dan madharat jika diisi dengan kebohongan, ghibah, dan ujaran kebencian. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:
مَنْ دَلَّ عَلَى خَيْرٍ فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِ فَاعِلِهِ
“Barangsiapa yang menunjuki kepada kebaikan, maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya.” (HR. Muslim)
Inilah peluang besar bagi kita. Setiap konten baik yang kita bagikan — ayat Al-Qur’an, hadits, kajian ilmu, atau informasi yang bermanfaat — jika diamalkan oleh orang lain, maka pahalanya akan terus mengalir kepada kita. Media sosial, dengan jangkauannya yang global, adalah ladang pahala yang tak terbatas.
Lalu, bagaimana strategi membentengi keluarga?
- Kuatkan Pondasi Iman Keluarga: Jadikan rumah sebagai “taman surga” (baiti jannati) dengan memperbanyak ibadah, dzikir, dan ilmu. Keluarga yang kuat imannya akan memiliki “immune system” spiritual untuk menyaring informasi.
- Edukasi Literasi Digital: Ajarkan anak dan keluarga tentang etika bermedia sosial: pentingnya tabayyun, bahaya menyebar hoaks, dan konsekuensi hukum serta dosa dari ujaran kebencian dan ghibah.
- Biasakan Komunikasi Terbuka: Ciptakan suasana di mana anak merasa nyaman berdiskusi tentang konten yang mereka temui di dunia maya. Orang tua harus menjadi sumber klarifikasi pertama.
- Manfaatkan untuk Kebaikan: Arahkan keluarga untuk memproduksi dan menyebarkan konten positif. Jadikan media sosial sebagai sarana dakwah dan silaturahim.
- Kontrol dan Batasi Penggunaan: Terapkan aturan penggunaan gadget, terutama untuk anak-anak. Orang tua harus aktif memantau tanpa melanggar privasi, sambil terus memberikan pemahaman.
Membentengi keluarga dari fitnah media sosial bukan berarti menutup diri dari kemajuan zaman. Ini adalah bentuk kewaspadaan dan tanggung jawab keimanan. Di era di mana jari lebih cepat dari pikiran, dan share lebih mudah dari tabayyun, mari kita kembali pada bimbingan Ilahi. Kita jaga lisan dan jari kita, karena semuanya akan dimintai pertanggungjawaban. Dengan demikian, media sosial yang penuh duri ini bisa kita ubah menjadi ladang amal yang memberatkan timbangan kebaikan kita di akhirat kelak.
Wallahu a’lam bish-shawwab.
